Sindir Generasi Stroberi – Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Abdul Mu’ti, kembali menggemparkan ruang publik dengan pernyataannya yang menampar keras sebagian besar generasi muda saat ini. Dalam sebuah forum pendidikan, Abdul Mu’ti secara lugas menyebut bahwa generasi masa kini banyak yang masuk dalam kategori “generasi stroberi”—terlihat manis dari luar, tapi mudah hancur saat di tekan.
Pernyataan ini tentu bukan basa-basi. Ia melontarkannya dengan sorotan tajam pada fenomena generasi muda yang di nilainya terlalu rapuh secara mental, mudah tersinggung, serta minim daya juang. Baginya, tantangan zaman yang makin kompleks justru membutuhkan mental yang tangguh, bukan generasi yang terus bersembunyi di balik alasan “mental health” atau “situs slot” yang digunakan terlalu longgar.
Generasi Stroberi: Manis Tapi Mudah Hancur
Istilah “generasi stroberi” bukan hal baru, tapi semakin relevan ketika melihat realita di lapangan. Banyak anak muda yang lebih peduli pada estetika media sosial ketimbang menghadapi kerasnya kehidupan nyata. Mereka tampil trendi, bicara lantang soal self-love dan boundaries, tapi ambruk hanya karena tekanan kecil, kritik tajam, atau konflik sederhana.
Abdul Mu’ti tidak asal bicara. Ia melihat langsung di dunia pendidikan bagaimana mahasiswa atau siswa mudah mengeluh karena tugas berat, guru yang tegas, atau lingkungan kompetitif. Banyak dari mereka menuntut “kenyamanan” lebih daripada “tantangan”, seolah hidup harus selalu di beri ruang aman tanpa tekanan.
Dibentuk oleh Kemudahan, Bukan Perjuangan
Mu’ti juga menyoroti pola asuh orang tua masa kini yang terlalu memanjakan. Anak-anak di besarkan tanpa di beri ruang untuk gagal, untuk jatuh, dan untuk berjuang sendiri. Semua serba instan, semua di sediakan. Ketika masuk ke dunia nyata, mereka terkejut karena kehidupan tidak seindah unggahan Instagram.
Menurutnya, generasi terdahulu di bentuk oleh keterbatasan dan perjuangan. Mereka tumbuh dengan nilai kedisiplinan, kerja keras, dan daya tahan. Bukan berarti generasi lama sempurna, tapi setidaknya mereka tahu bagaimana bertahan dalam tekanan. Sementara, generasi athena168 hari ini cenderung gampang menyerah ketika ekspektasi tak sesuai kenyataan.
Mental Lemah yang Disamarkan Sebagai Sensitivitas
Ironisnya, kelemahan mental ini sering di bungkus dengan istilah modern yang terdengar keren. Sensitivitas, trauma masa lalu, overthinking, hingga burnout di jadikan tameng untuk menghindari tantangan. Padahal, dalam banyak kasus, itu hanyalah bentuk lain dari ketidaksiapan menghadapi realita.
Mu’ti menegaskan, tidak salah bicara soal kesehatan mental. Tapi membungkus kelemahan diri dengan istilah psikologis demi mendapat simpati sosial adalah bentuk pembodohan terselubung. Generasi muda butuh empati, tapi juga butuh di sadarkan bahwa hidup tidak selalu sesuai keinginan.
Perlu Revolusi Karakter, Bukan Cuma Literasi
Pendidikan hari ini terlalu banyak bicara soal angka, nilai, dan teknologi, tapi lupa membentuk karakter. Menurut Mu’ti, yang di butuhkan generasi muda adalah pendidikan yang mengajarkan ketangguhan, tanggung jawab, dan kegigihan. Anak-anak perlu tahu bahwa hidup tak selalu adil, dan itu bukan alasan untuk menyerah.
Ia mengajak para pendidik, orang tua, bahkan pemerintah untuk berhenti memanjakan anak muda dengan narasi “semua pasti bisa” tanpa di sertai pembentukan daya tahan. Generasi masa depan Indonesia tidak bisa di bentuk hanya dari seminar motivasi dan self-healing, tapi dari proses jatuh bangun yang nyata.